Pembangunan Kebangsaan Di Tengah Oligarki Politik Pasca Reformasi

Disampaikan pada pertemuan Senior GMKI, tanggal 19 Mei 2012 di Jakarta

Sejarah

Pembangunan Karakter Kebangsaan di Indonesia, hanya terjadi pada 2 periode saja, yaitu Periode Orde-Lama & Orde Baru. Presiden Republik Indonesia Soekarno membangun karakter seluruh warga Negara dengan kebebasan dan melalui pendidikan yang luas, sedang pada periode Orde-Baru, karakter kebangsaan dibangun secara tertutup yang dipimpin dengan cara militer (Indoktrinasi), Orde Reformasi ini karakter terbangun dengan cara-cara Individualistis dan golongan, sehingga sistem Oligarki mendapat tempat yang tepat dikembangkan pada Orde Reformasi.

Pada Orde Reformasi saat ini terbuka lebar kesempatan untuk mengembangkan karakter yang berseberangan dengan karakter kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai/ideologi Pancasila. Catatan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa penyerhanaan partai-partai dari puluhan partai menjadi 3 partai, yaitu PPP, PDI, dan Golkar merupakan upaya memudahkan membentuk karakter kebangsaan yang bersumber dari Pancasila. Partai yang berlandaskan Agama Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi satu-satunya partai yang membina & mengambangkan, menyalurkan kader-kader Islam hanya satu pintu, sedang partai yang berasas Agama di luar Islam menyatu ke partai Nasional dan Golongan fungsional (PDI & Golkar) yang menggunakan asas Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar menggerakan roda partai dan mendidik kader-kadernya. Hebatnya setelah gerakan Reformasi bergulir perkembangan kepartaian menjadi liar dan tidak terkendali demi HAM dan Demokrasi.

Partai yang berbasis agama (Islam) memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam melakukan gerakan politik, yaitu ada PKS, PBB, PAN, PKB dan PPP yang menggambarkan betapa tidak adilnya komposisi partisipasi politik Nasional bila dibandingkan dengan keberadaan Partai berbasis agama lain (Kristen) faktanya tidak memiliki partai yang punya posisi tawar secara proporsional mengambil bagian secara positif dalam politik (kekuasaan) di Negara Indonesia, dibawah kepemimpinan SBY.

Pragmatisme Kemandirian dan Sinergitas

Masalah berat yang kita hadapi ialah terbentuknya nilai-nilai baru yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah lama tertanam di bumi Nusantara Indonesia, perubahan terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945 yang beberapa pasal diadakan perubahan ayat-ayat HAM yang secara historis bersumber dari prinsip Declaration of Human Rights PBB yang sudah dibuat tahun 1950 yang asasnya dan nilai-nilainya individualistis dan liberalistis sementara di Indonesia, khususnya orang/warga Indonesia yang Kristen sudah memiliki asas dan nilai kekeluargaan yang dilandaskan pada prinsip kekeluargaan/gotong royong dalam banyak hal di kehidupannya.

Dengan tertutupnya pintu bagi kader-kader untuk berpartisipasi di era Reformasi dalam politik (kekuasaan) mengakibatkan tumbuhnya nilai-nilai individualistis yang terbungkus ke dalam paham kemandirian (pragmatism) yang tidak konstruktif dan bersinergi, karena medan kehidupannya memaksa dia lebih pragmatis (mandiri) dan individualistik. Sebenarnya pergeseran nilai-nilai yang saat ini terjadi adalah nilai yang seharusnya mengedepankan nilai Sinergitas antara potensi dan kemauan yang tinggi dalam membangun partisipasi politik di dalam banyak hal.

Dalam gerak langkah perjuangan umat Kristen di Indonesia sesungguhnya sudah pernah ada rumusan yang ideal dalam membangun Negara Indonesia sebagai suatu bangsa yang dirumuskan gereja-gereja pada sidang raya PGI tahun 1984 di Bali yaitu bahwa “PEMBANGUNAN NASIONAL ADALAH PENGAMALAN NILAI-NILAI PANCASILA”. Dengan demikian roh pembangunan Nasional di semua bidang memiliki tolok ukur Pancasila yang sudah menjadi Dasar Negara Indonesia dalam Berbangsa, Bernegara dan bermasyarakat.

Medan pelayanan umat Kristen termasuk Senior friends/member menjadi lebih luas dan mendalam bagi setiap warga lintas daerah/suku, agama dan kepentingan bangsa dan Negara. Dalam koridor itulah wawasan dan strategi Nasional kita bangun dalam suasana pelaksanaan otonomi daerah yang lebih strategis dan efektif.

Kita akan dapat melihat bahwa potensi yang positif untuk bersinergis tinggi & terbuka akan tetapi sebaliknya potensi konflik/pecah menjadi negara federal semakin terbuka lebar, sejalan dengan pergeseran sistem penyelenggaraan Negara kita yang telah melalui strategi otonomi daerah, lembaga-lembaga pengkaderan kita seperti GMKI, harus melihat ini sebagai kesempatan untuk berkiprah di daerah dalam banyak hal, sehingga tokoh nasional saat ini terbentuk di daerah-daerah otonom yang dipimpinnya berhasil sehingga ditokohkan menjadi tokoh nasional, sehingga patut menjadi nominasi Menteri, Presiden/Wakil Presiden dan sebagainya di Indonesia.

Peran senior di semua daerah harus menjadi tokoh daerah yang punya potensi menjadi tokoh nasional, melalui strategi nasional yang kita upayakan bersinergi dengan kekuatan nasional lainnya. Strategi itu perlu dirumuskan di Konferensi Nasional dan Kongres Nasional GMKI yang akan datang secara sungguh-sungguh. Oleh sebab itu program kaderisasi menjadi fokus kita kedepan, tanpa ,meninggalkan Tri Panji GMKI sebagai doktrin yaitu : Tinggi Iman, Tinggi Ilmu dan Tinggi Pengabdian di semua medan pelayanan.

Penutup

Negara Indonesia dengan amandemen/perubahan UUD 1945 melalui pasal-pasal dan ayat-ayat telah banyak yang   multi tafsir, misalnya penyelenggaraan Pemilukada, dimana KPUD atau Perda membuat kriteria calon Walikota, Bupati & Gubernur, lalu tes kesehatan dan tes psikologi untuk mengetahui motivasi memilih ikut serta dalam Pemilukada.

Partai politik yang ada di Indonesia saat ini belum berhasil menyelenggarakan pendidikan politik yang berkarakter dan berwawasan kebangsaan Indonesia. Salah satu prasyarat Negara kita Negara demokrasi, ialah belum dilaksanakannya “WAJIB MILITER” pada usia 17 tahun atau “WAJIB BELA NEGARA”. Untuk semua warga Negara yang telah masuk dewasa. 

Perlu evaluasi yang serius dari semua ahli di Indonesia menyangkut prioritas yang benar-benar dipersiapkan, peran senior dalam evaluasi politik cukup memadai, seperti melalui wadah “Leimena Memorial”, atau melalui gereja-gereja kita, kehadiran “Incognito” sudah merupakan strategi penyebaran ajaran kebaikan yang dianjurkan semua agama.

Penyebutan 4 (empat) pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, merupakan pergeseran hakikat yang sebenarnya dari ideology, dasar-dasar falsafah Negara Indonesia. PS adalah dasar Negara Indonesia, sesuai dengan bunyi alinea ke 4 pembukaan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah asas-asas yang mewarnai seluruhnya keputusan politik/pembuat perundang-undangan RI, jadi tidak tepat kalau kita ikut menyetujui 4 pilar yang didengungkan MPR-RI melalui Ketua MPR Bapak Taufik Kiemas.

Tinggalkan komentar